Ruang Damai bagi Pria Aniaya Satpam RS hingga Koma
Seorang pria yang diduga kuat menjadi pelaku penganiayaan terhadap seorang satpam rumah sakit hingga koma kini tengah menjalani proses hukum intensif.
Kasus yang menyita perhatian publik ini tidak hanya menyentuh aspek pidana, namun juga menimbulkan perbincangan mengenai kondisi
psikologis pelaku yang kemudian ditempatkan di ruang khusus tahanan yang disebut “ruang damai.
Penempatan ini disebut sebagai bentuk antisipasi dan penanganan atas situasi psikologis serta kondisi keamanan tersangka.
Insiden kekerasan tersebut terjadi pada awal bulan ini dan terekam dalam kamera pengawas rumah sakit.
Video tersebut memperlihatkan pelaku melakukan tindak kekerasan secara membabi buta terhadap
seorang satpam yang saat itu tengah bertugas menjaga pintu masuk rumah sakit swasta di kawasan perkotaan.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka serius di bagian kepala dan tubuh hingga harus menjalani perawatan intensif di ruang ICU dan kini dalam kondisi koma.
Kronologi Kejadian
Berdasarkan keterangan dari pihak kepolisian dan saksi mata, pelaku datang ke rumah sakit dengan niat menemui salah satu pasien di luar jam besuk.
Ketika ditegur oleh satpam yang bertugas, pelaku justru tersulut emosi. Cekcok mulut yang terjadi berubah menjadi kekerasan fisik, di mana pelaku memukul korban secara brutal.
Pihak rumah sakit langsung menghubungi aparat kepolisian dan memberikan rekaman CCTV sebagai barang bukti.
Korban, seorang pria berusia 45 tahun yang telah bekerja sebagai satpam lebih dari 10 tahun, kini dalam kondisi kritis dan belum
menunjukkan tanda-tanda kesadaran penuh. Keluarga korban menyampaikan harapan agar proses hukum berjalan adil, serta agar pelaku diberi hukuman yang setimpal atas tindakannya.
Tersangka Ditempatkan di Ruang Damai
Setelah penangkapan, pihak kepolisian menginformasikan bahwa tersangka ditempatkan di ruang tahanan khusus yang dijuluki sebagai “ruang damai.” Ruang ini
umumnya digunakan untuk tahanan yang memiliki kondisi emosional tidak stabil atau memerlukan pengawasan lebih ketat demi mencegah gangguan keamanan di dalam sel.
Menurut juru bicara Polres setempat, langkah tersebut diambil berdasarkan penilaian psikologis awal terhadap pelaku. Diketahui bahwa pelaku
mengalami tekanan mental setelah insiden terjadi dan menunjukkan tanda-tanda stres berat selama proses penahanan.
“Penempatan di ruang damai dilakukan bukan untuk memberikan keistimewaan, melainkan sebagai langkah antisipatif terhadap gangguan
psikis yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun tahanan lain,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal dalam konferensi pers.
Reaksi Publik dan Tanggapan Ahli Hukum
Kebijakan penempatan pelaku di ruang damai memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah perlakuan tersebut menunjukkan adanya perbedaan perlakuan hukum.
Namun, sejumlah pakar hukum menjelaskan bahwa tindakan tersebut sah dilakukan selama masih dalam koridor hukum dan berdasarkan evaluasi medis atau psikologis.
“Setiap tahanan memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi, termasuk perlindungan atas kondisi mentalnya.
Namun, hal itu tidak mengurangi atau membatalkan proses hukum yang berjalan,” jelas Dr. Hendrawan, ahli hukum pidana dari sebuah universitas negeri terkemuka.
Baca juga:Indonesia Maju jadi Kandidat Tuan Rumah Piala Asia 2031
Langkah Hukum yang Ditempuh
Pihak kepolisian menyatakan bahwa pelaku akan dijerat dengan pasal penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam KUHP
Pasal 351 ayat (2) dan (3) jika korban meninggal dunia. Proses penyidikan saat ini sedang berlangsung, dan pihak kejaksaan tengah menyiapkan berkas perkara untuk proses penuntutan.
Sementara itu, keluarga korban melalui kuasa hukum mereka menuntut agar pelaku dihukum seberat-beratnya, mengingat
dampak yang ditimbulkan sangat besar, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikis bagi keluarga yang ditinggalkan.
Upaya Damai yang Tidak Diterima Keluarga Korban
Muncul informasi bahwa pihak keluarga pelaku sempat mencoba melakukan pendekatan damai kepada keluarga korban. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah.
Keluarga korban menilai tindakan pelaku terlalu kejam untuk diselesaikan di luar jalur hukum.
“Kami tidak mencari kompensasi materi. Yang kami ingin lihat adalah keadilan bagi saudara kami yang saat ini masih terbaring koma dan berjuang untuk hidup,” ungkap kakak korban.
Peran Rumah Sakit dan Tanggung Jawab Keamanan
Pihak rumah sakit turut menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden yang menimpa salah satu tenaga pengamanan internal mereka.
Direktur rumah sakit menjanjikan dukungan penuh terhadap proses hukum dan menyatakan akan meninjau kembali sistem keamanan di fasilitas mereka agar kejadian serupa tidak terulang.
“Ini menjadi evaluasi penting bagi kami dalam hal pengawasan akses masuk dan sistem keamanan.
Kami akan memperketat SOP, termasuk penambahan tenaga pengamanan di titik-titik rawan,” ujar Direktur Operasional RS.
Penutup
Kasus pria yang menganiaya satpam hingga koma menjadi pengingat keras bahwa tindakan kekerasan tidak pernah menjadi solusi dalam situasi apa pun.
Penempatan pelaku di ruang damai mungkin mengundang kontroversi, namun proses hukum harus tetap berjalan tanpa pandang bulu.
Sementara keluarga korban masih berharap keadilan ditegakkan, masyarakat luas pun menantikan hasil akhir dari kasus ini sebagai cerminan komitmen penegakan hukum yang adil dan transparan.
Dalam iklim sosial yang semakin kompleks, penting bagi semua pihak untuk mengedepankan empati, dialog, dan penegakan hukum demi menjaga nilai kemanusiaan.