Hasan Nasbi Usul Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Dibina

Hasan Nasbi Usul Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Dibina

Isu kebebasan berekspresi kembali menjadi sorotan publik usai beredarnya meme yang menampilkan

Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam format parodi, dibuat oleh seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Meme tersebut viral di media sosial dan menimbulkan pro-kontra, tidak hanya di kalangan netizen, tetapi juga dalam ranah politik dan akademik.

Di tengah berbagai komentar yang bermunculan, pendiri Cyrus Network, Hasan Nasbi, memberikan tanggapan yang cukup menyejukkan.

Dalam pernyataan terbukanya, ia menyarankan agar sang mahasiswi tidak dijatuhi sanksi hukum atau akademik yang berat

tetapi justru dibina secara bijak untuk memahami batas-batas kebebasan berekspresi dalam ruang publik yang demokratis


Hasan Nasbi Usul Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Dibina

Hasan Nasbi Usul Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Dibina Kejadian ini bermula dari unggahan di media sosial X (dulu Twitter)

oleh akun anonim yang diduga kuat merupakan milik mahasiswi aktif ITB.

Dalam unggahan tersebut, ia menyematkan gambar parodi yang menampilkan wajah Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan

Prabowo Subianto dalam situasi fiksi satir, dilengkapi dengan caption bernuansa humor politik.

Meme tersebut dengan cepat menyebar luas, mendapat berbagai respons dari warganet

mulai dari yang menganggapnya lucu dan tajam, hingga yang menilainya sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara.

Tak berselang lama, unggahan tersebut mendapat perhatian serius dari pihak kampus dan aparat.

Identitas pemilik akun mulai terungkap, dan berbagai pihak mendesak agar tindakan disipliner diberlakukan.

Namun, gelombang dukungan terhadap mahasiswi tersebut juga mencuat,

termasuk dari kalangan aktivis, dosen, dan tokoh politik yang menilai bahwa tindakan tersebut seharusnya tidak dibalas dengan kriminalisasi.


Tanggapan Hasan Nasbi: Usulan Pembinaan sebagai Solusi Edukatif

Hasan Nasbi, seorang analis politik dan pendiri lembaga riset Cyrus Network, menyampaikan pandangannya terkait kejadian ini. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh mahasiswi tersebut harus dilihat dalam konteks lebih luas sebagai bagian dari ekspresi generasi muda dalam menyikapi dinamika politik nasional.

“Kalau memang terbukti dia yang membuat, saya kira yang bersangkutan sebaiknya dibina, bukan dipidanakan atau dihukum berat,” ujar Hasan dalam wawancara bersama media.

Menurutnya, pembinaan merupakan langkah lebih konstruktif, terutama mengingat status yang bersangkutan masih sebagai mahasiswa yang sedang dalam masa pembentukan karakter dan kedewasaan berpikir.

Hasan juga menambahkan bahwa kebebasan berekspresi adalah bagian dari demokrasi, namun perlu dibarengi dengan tanggung jawab etika. Ia berharap kejadian ini tidak dijadikan preseden buruk yang justru akan membungkam suara-suara kritis dari kalangan muda.


Kebebasan Berekspresi: Antara Hak dan Etika

Peristiwa ini kembali membuka ruang diskusi tentang batas antara kritik dan penghinaan

serta bagaimana negara, institusi pendidikan, dan masyarakat secara umum merespons kreativitas anak muda dalam menyampaikan opini.

Menurut pakar hukum tata negara, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945

yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Namun demikian, UU ITE dan KUHP masih memuat pasal-pasal yang bisa menjerat seseorang apabila dianggap melakukan penghinaan terhadap

penguasa atau tokoh publik tertentu. Inilah yang menjadi dilema: bagaimana menjaga keseimbangan antara hak berekspresi dan perlindungan terhadap martabat pejabat negara.

Hasan Nasbi dalam pernyataannya menegaskan bahwa solusi yang dipilih seharusnya mencerminkan semangat edukatif, bukan represif.

Ia juga menekankan pentingnya literasi digital dan etika bermedia sosial yang harus terus ditanamkan di kalangan generasi muda.


Reaksi dari Kampus dan Masyarakat

Pihak ITB melalui Humas kampus menyatakan bahwa mereka sedang menelusuri lebih lanjut mengenai insiden tersebut.

Mereka juga menegaskan komitmen kampus dalam menjaga kebebasan akademik sekaligus memastikan bahwa setiap aktivitas mahasiswa berjalan sesuai norma hukum dan etika.

Di sisi lain, sejumlah dosen dan alumni ITB menyatakan dukungannya terhadap mahasiswi tersebut. Mereka meminta agar proses pembinaan lebih dikedepankan daripada sanksi tegas yang berpotensi menghambat masa depan akademiknya.

Komunitas mahasiswa pun menggelar forum diskusi dan pernyataan sikap, menyuarakan agar kampus tidak bersikap reaktif, melainkan mengambil pendekatan edukatif dan proporsional.


Pentingnya Literasi Digital di Era Informasi

Insiden ini juga menjadi momentum penting untuk mengevaluasi sejauh mana literasi digital diterapkan secara efektif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dalam era media sosial, penyebaran informasi dan ekspresi pendapat terjadi sangat cepat. Namun, tanpa pemahaman yang cukup tentang batasan hukum dan etika, ekspresi tersebut bisa berdampak buruk.

Hasan Nasbi melihat kasus ini sebagai pengingat bagi semua pihak, terutama lembaga pendidikan tinggi, untuk lebih aktif membimbing mahasiswa dalam memahami konsekuensi dari setiap tindakan di ruang digital.

“Bukan berarti kita mengekang kebebasan berekspresi, tapi membekali mereka dengan kesadaran untuk bertanggung jawab atas setiap bentuk komunikasi publik,” jelas Hasan.


Perlu Dibedakan: Kritik, Satir, atau Penghinaan?

Dalam praktik jurnalistik dan seni politik, satir merupakan bentuk kritik yang sah dan telah lama menjadi bagian dari demokrasi. Banyak negara demokratis modern mengakui peran satir sebagai alat sosial untuk menyoroti kebijakan publik, bahkan memeriksa kekuasaan.

Namun, di Indonesia, sensitivitas terhadap kritik dalam bentuk humor politik masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak merasa satire terhadap pejabat publik bisa dianggap sebagai penghinaan pribadi, terutama bila menyangkut simbol kenegaraan.

Dalam konteks meme yang dibuat oleh mahasiswi ITB, sebagian kalangan menganggapnya sebagai satire politik yang lumrah di kalangan muda. Namun, bagi sebagian lainnya, tindakan tersebut dianggap melewati batas sopan santun terhadap pejabat negara.

Baca juga:Pemkot Depok Berlakukan CFD Pakai 2 Ruas Jalan Margonda Pekan Ini


Penutup: Pembinaan, Bukan Pembungkaman

Kasus ini menjadi refleksi penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi. Masyarakat harus terus menjaga ruang kebebasan berekspresi tanpa mengorbankan tanggung jawab etika.

Di sisi lain, negara dan institusi pendidikan memiliki peran penting dalam mendampingi dan membimbing generasi muda agar mampu menyuarakan pendapatnya secara santun dan konstruktif.

Hasan Nasbi telah memberikan suara yang jernih dan rasional dalam polemik ini.

Usulannya untuk membina, bukan menghukum, patut diapresiasi sebagai langkah progresif dalam memperkuat literasi demokrasi di Indonesia. Pembinaan bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi membangun masa depan bangsa dengan generasi yang berani, cerdas, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version