Harga Minyak Melonjak 2025 3% Karena Penurunan Sumur Migas Peningkatan ini terjadi setelah aliansi negara-negara penghasil minyak, yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya atau OPEC+, menyepakati kebijakan untuk menambah produksi minyak secara bertahap dan terkendali.
Langkah tersebut dinilai mampu menenangkan kekhawatiran para pelaku pasar atas kemungkinan percepatan peningkatan pasokan global.
Mengutip laporan dari CNBC yang dirilis pada hari Selasa, 3 Juni 2025, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) mengalami lonjakan sebesar 1,73 dolar AS atau setara dengan 2,85 persen, sehingga menetapkan harga penutupan pada level 62,52 dolar AS per barel.
Sementara itu, minyak mentah jenis Brent, yang merupakan acuan utama perdagangan global, tercatat naik sebesar 1,85 dolar AS atau sekitar 2,95 persen dan ditutup di angka 64,63 dolar AS per barel.
Harga Minyak Melonjak 2025 Naik Hingga 3%
Penguatan harga minyak dunia ini tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan OPEC+, tetapi juga oleh penurunan jumlah rig pengeboran aktif di Amerika Serikat.
Selama bulan Mei, data menunjukkan penurunan jumlah rig pengeboran minyak yang aktif secara mingguan, hingga mencapai titik terendah sejak tahun 2021. Penurunan aktivitas pengeboran ini memberi sinyal bahwa produksi minyak AS dapat mengalami penurunan dalam waktu dekat.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada hari Sabtu sebelumnya, delapan negara anggota OPEC+ yang dipimpin oleh Arab Saudi mencapai konsensus untuk menambah produksi sebesar 411.000 barel per hari pada bulan Juli mendatang.
Ini menandai bulan ketiga berturut-turut di mana kelompok ini menetapkan target peningkatan produksi pada angka yang sama, menunjukkan pendekatan yang hati-hati dalam menyesuaikan pasokan dengan permintaan global.
Penyesuaian Bertahap Demi Menjaga Keseimbangan Pasar
Giovanni Staunovo, analis komoditas dari UBS, menjelaskan bahwa terdapat kekhawatiran di pasar terkait potensi percepatan pelonggaran kebijakan pemangkasan produksi. Namun, ia menegaskan bahwa pasar minyak global masih dalam kondisi ketat, yang berarti permintaan terhadap minyak mentah tetap tinggi, dan oleh karena itu, pasokan tambahan dari OPEC+ masih dapat diserap oleh pasar secara optimal.
“Peningkatan pasokan secara perlahan dan hati-hati ini menjadi sinyal positif bahwa OPEC+ berupaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pasar dan kestabilan harga,” ujar Staunovo.
Sebelumnya, OPEC+ memangkas produksi secara agresif sebesar 2,2 juta barel per hari dalam rangka menstabilkan pasar energi global yang sempat mengalami ketidakseimbangan akibat pandemi COVID-19 serta fluktuasi permintaan yang tidak menentu.
Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi global dan meningkatnya aktivitas industri, aliansi tersebut mulai mengembalikan pasokan secara bertahap. Hingga kini, sekitar 1,2 juta barel per hari dari volume pemangkasan sebelumnya telah dikembalikan ke pasar.
Peter Boockvar, Kepala Investasi dari Bleakley Financial Group, menyatakan bahwa OPEC+ kemungkinan besar akan menyesuaikan kuota produksinya agar sejalan dengan kapasitas produksi aktual negara-negara anggotanya. Menurutnya, langkah ini adalah bentuk realisme pasar sekaligus strategi untuk menjaga harga tetap berada di kisaran yang menguntungkan.
Tekanan Eksternal dan Respons Pasar Domestik
Meskipun harga minyak mentah dunia mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir, secara keseluruhan harga minyak mentah jenis WTI di Amerika Serikat masih mencatat penurunan hampir 13 persen sepanjang tahun 2025.
Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya meningkatnya pasokan minyak global serta ketidakpastian permintaan akibat kebijakan perdagangan internasional yang diterapkan oleh pemerintah, termasuk tarif tinggi terhadap sejumlah negara yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya.
Meski demikian, sejumlah produsen minyak independen dan berkapasitas kecil di Amerika Serikat telah menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap tren harga rendah tersebut.
Salah satu perusahaan yang menyuarakan hal ini adalah Diamondback Energy. Perusahaan ini memperingatkan bahwa apabila harga minyak tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan, maka aktivitas produksi di dalam negeri berisiko mengalami kontraksi signifikan.
Peter Boockvar menambahkan bahwa rendahnya harga minyak saat ini pada akhirnya dapat memperbaiki dirinya sendiri melalui mekanisme pasar. Dalam istilah ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai “low prices cure low prices”, yakni harga rendah akan secara otomatis menurunkan produksi hingga akhirnya terjadi kelangkaan yang menyebabkan harga naik kembali.
“Dengan harga minyak berada di kisaran 60 dolar AS per barel, ini masih tergolong murah dan tidak mendorong banyak produsen untuk meningkatkan produksi secara agresif. Maka dari itu, saya yakin titik balik kenaikan harga akan segera tercapai,” tegas Boockvar kepada CNBC.Q
Baca Juga : Orang Dekat Prabowo Ungkap Mengenai Ungkap Syarat Mutlak Ekonomi RI Tumbuh 8%