
Alasan Eks OPM Yeremias Foumair Kembali ke NKRI: Rindu Istri dan Anak-anak
Papua tanah yang kaya akan alam dan budaya selama bertahun-tahun menjadi wilayah yang penuh dinamika politik dan sosial.
Salah satu kisah yang menarik perhatian baru-baru ini datang dari Yeremias Foumair, seorang mantan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)
yang memutuskan kembali ke pelukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bukan karena tekanan, bukan karena paksaan, tapi karena alasan yang sangat manusiawi: rindu istri dan anak-anaknya.

Menempuh Jalan yang Salah
Yeremias Foumair, pria berusia 38 tahun asal wilayah pegunungan tengah Papua, bergabung dengan kelompok separatis bersenjata beberapa tahun lalu. Ia tertarik oleh janji-janji kebebasan, narasi perjuangan, dan pengaruh dari rekan-rekannya yang telah lebih dulu terlibat dalam gerakan separatis.
Dalam wawancara eksklusif bersama aparat keamanan setelah penyerahan dirinya, Yeremias mengaku bahwa pada awalnya ia benar-benar percaya bahwa dengan mengangkat senjata, ia bisa memperjuangkan hak-hak rakyat Papua yang selama ini dianggap terpinggirkan.
Namun, setelah beberapa tahun hidup dalam hutan, berpindah-pindah tempat demi menghindari kejaran aparat, serta menyaksikan kekerasan demi kekerasan terjadi, Yeremias mulai mempertanyakan arah perjuangan yang ia pilih. Banyak dari teman seperjuangannya yang gugur dalam baku tembak, sebagian menyerah karena kelelahan, dan tidak sedikit pula yang diam-diam kabur kembali ke keluarga mereka.
“Saya mulai berpikir, apa benar ini jalan yang harus saya tempuh? Kami hidup susah, makan susah, setiap hari dalam ketakutan. Lalu untuk siapa semua ini?” ujar Yeremias.
Rindu yang Tak Terbendung
Di balik semua itu, ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya: keluarga. Sejak bergabung dengan kelompok bersenjata, Yeremias terputus hubungan dengan istri dan dua anaknya yang masih kecil. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah melihat wajah mereka, bahkan hanya mendengar kabarnya pun tidak. Ia hanya bisa membayangkan wajah-wajah mereka dalam benaknya—wajah istri yang penuh kesabaran, dan dua anak laki-lakinya yang dulu masih balita.
“Anak saya sekarang sudah besar. Mereka mungkin tidak mengenali saya lagi. Tapi saya ingin pulang, ingin lihat mereka, ingin minta maaf,” ucap Yeremias dengan suara bergetar.
Rasa rindu itu terus tumbuh. Di tengah kerasnya kehidupan di hutan dan tekanan psikologis yang dialaminya, Yeremias akhirnya membuat keputusan besar: ia ingin keluar. Ia ingin meninggalkan perjuangan bersenjata dan kembali ke masyarakat, kembali menjadi ayah dan suami.
Proses Penyerahan Diri
Keputusan Yeremias untuk menyerahkan diri tidaklah mudah. Ia harus melewati berbagai tantangan, termasuk meyakinkan rekan-rekannya yang menganggap keputusannya sebagai bentuk pengkhianatan. Namun, dengan tekad kuat dan niat tulus, Yeremias akhirnya berhasil meloloskan diri dari kelompoknya dan menyerahkan diri ke aparat TNI di wilayah perbatasan.
Aparat menerima Yeremias dengan tangan terbuka. Tidak ada penyiksaan, tidak ada intimidasi. Malah, ia diberi makan, pakaian bersih, dan tempat istirahat yang layak. Aparat juga membantu memfasilitasi pertemuan kembali Yeremias dengan keluarganya.
“Kami tidak ingin kekerasan. Kami ingin membawa saudara-saudara kita kembali dengan damai. Kalau memang mereka ingin kembali ke NKRI dengan hati terbuka, tentu kita sambut,” kata seorang perwira TNI yang terlibat dalam proses penyerahan diri Yeremias.
Reuni yang Mengharukan
Momen yang paling menyentuh adalah ketika Yeremias akhirnya dipertemukan kembali dengan keluarganya. Istrinya menangis melihat suaminya yang kini tampak kurus dan lebih tua dari usianya. Kedua anaknya, yang awalnya terlihat asing, akhirnya memeluk ayah mereka setelah diyakinkan oleh sang ibu.
Tangis, pelukan, dan kata maaf menghiasi pertemuan itu. Yeremias berjanji tidak akan meninggalkan keluarganya lagi dan ingin menebus kesalahan masa lalunya dengan bekerja keras demi masa depan anak-anaknya.
Harapan Baru
Setelah menyerahkan diri, Yeremias kini menjalani program reintegrasi sosial dari pemerintah. Ia mengikuti pelatihan kerja dan pendidikan dasar tentang kewarganegaraan. Pemerintah melalui aparat daerah juga memberikan bantuan ekonomi awal berupa modal usaha kecil agar ia bisa mandiri.
Lebih dari itu, Yeremias kini juga menjadi juru damai. Ia sering dilibatkan dalam kegiatan pembinaan masyarakat dan menjadi contoh hidup bahwa masih ada jalan pulang bagi mereka yang ingin keluar dari konflik bersenjata.
“Saya ingin bilang ke teman-teman di hutan sana: pulanglah. Hidup damai itu lebih baik. Negara tidak sekejam yang kalian bayangkan. Keluarga kita menunggu,” kata Yeremias saat memberikan kesaksian di acara dialog damai Papua.
Masyarakat dan Pemerintah Perlu Bersinergi
Kisah Yeremias menjadi pengingat bahwa banyak dari mereka yang bergabung dengan kelompok separatis bukan karena kebencian yang murni terhadap negara, melainkan karena kecewa, kurang informasi, atau terpengaruh oleh lingkungan. Maka, pendekatan kemanusiaan seperti ini penting untuk terus dikedepankan.
Pemerintah, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat perlu bersinergi menciptakan ruang bagi para eks separatis untuk kembali, bukan dengan stigma, tetapi dengan peluang baru. Rehabilitasi sosial, bantuan ekonomi, dan pendampingan psikologis adalah kunci agar mereka bisa hidup normal kembali.
Baca juga:Pantas Disorot Menkes Obesitas Sentral di RI Tembus 36,8 Persen, Naik Tiap Tahun
Penutup
Yeremias Foumair adalah satu dari sekian banyak warga Papua yang sempat tersesat jalan, namun berhasil menemukan jalan pulang karena dorongan cinta dan rindu kepada keluarga. Keputusan kembali ke NKRI bukan sekadar pilihan politik, tetapi panggilan hati.
Di tengah berbagai persoalan yang masih melingkupi Papua, kisah ini memberi harapan. Bahwa perdamaian tidak selalu harus dimulai dari meja perundingan atau senjata yang diturunkan. Kadang, ia bermula dari hati yang rindu, dari ayah yang ingin kembali memeluk anak-anaknya.