
Pengibaran Bendera One Piece sebagai Ekspresi Sosial, Bukan Makar
Pengibaran Bendera One Piece sebagai Ekspresi Sosial, Bukan Makar
TARGETINNGID | Berita Viral Paling Hot Di Dunia Maya Hanya Disini!
TARGETINNGID adalah platform yang hadir untuk membantu Anda tetap terinformasi di tengah perubahan dari inovasi teknologi hingga e-sports yang mendefinisikan hiburan generasi baru
Pengibaran Bendera One Piece sebagai Ekspresi Sosial, Bukan Makar
Pengibaran Bendera One Piece sebagai Ekspresi Sosial, Bukan Makar
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, fenomena unik terjadi di berbagai wilayah Indonesia, terutama di lingkungan perumahan dan gang-gang kecil. Bendera bajak laut dari serial anime populer One Piece terlihat berkibar berdampingan dengan Bendera Merah Putih. Aksi ini pun mengundang beragam reaksi dari masyarakat dan pemerintah. Beberapa pihak menganggapnya sebagai ekspresi kreatif, sementara yang lain mengkhawatirkan kemungkinan makna subversif di balik simbol bajak laut tersebut.
Viralnya video dan foto pengibaran bendera bajak laut Straw Hat Pirates di media sosial membuat isu ini cepat menyebar. Komentar-komentar pro dan kontra bermunculan. Salah satu pengibar bendera, warga dari Bekasi, menyatakan bahwa aksi tersebut semata-mata bentuk ekspresi sosial dan kekaguman terhadap karakter Luffy dan kawan-kawannya, bukan simbol perlawanan terhadap pemerintah.
“Kami cuma senang One Piece. Tidak ada maksud politik atau niat makar. Kami tetap cinta Merah Putih,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Beberapa akademisi dan pengamat budaya turut menanggapi fenomena ini. Dosen budaya populer Universitas Indonesia, Dr. Hana Rizky, menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece mencerminkan kekuatan budaya populer Jepang yang telah mengakar kuat di kalangan anak muda Indonesia.
“Ini tidak bisa langsung dikaitkan dengan makar. Ini adalah ekspresi budaya pop dan cara anak muda mengaitkan perjuangan karakter fiksi dengan situasi sosial mereka,” jelas Hana.
Menanggapi fenomena ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo angkat bicara. Ia menegaskan bahwa selama bendera Merah Putih tetap dikibarkan dengan hormat, maka simbol lain seperti bendera One Piece tidak serta-merta dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran.
“Saya yakin hati rakyat tetap merah putih. Tidak semua ekspresi harus dibaca sebagai bentuk perlawanan. Pemerintah harus bijak merespons ini,” kata Bamsoet dalam keterangannya.
Aktivis HAM dan kebebasan berekspresi, Haris Azhar, meminta aparat dan pemerintah tidak bertindak represif terhadap pengibar bendera One Piece. Ia menekankan perlunya pendekatan edukatif dan dialog yang terbuka terhadap publik, terutama anak muda.
“Kalau semua dianggap makar, kapan rakyat bisa jujur mengekspresikan dirinya? Ini bisa jadi momentum untuk mendengar suara publik, bukan menakut-nakuti mereka,” ujar Haris.
Dari sisi hukum, sejumlah pakar menyebut bahwa tidak ada unsur pidana makar dalam pengibaran bendera One Piece selama tidak disertai ajakan atau tindakan melawan pemerintah secara terang-terangan. Pengacara publik dari LBH Jakarta, Nabila Putri, menjelaskan bahwa makar harus memenuhi unsur niat menggulingkan pemerintah yang sah, yang dalam kasus ini sama sekali tidak terlihat.
Fenomena ini bisa menjadi refleksi bahwa ada keresahan atau perasaan ketidakadilan yang ingin disuarakan oleh masyarakat. Meski caranya simbolik, seperti melalui pengibaran bendera fiksi, pemerintah sebaiknya menanggapinya dengan telinga terbuka.
“Kalau masyarakat memilih karakter seperti Luffy yang melawan ketidakadilan sebagai simbol, itu bisa jadi cermin bahwa mereka menginginkan perubahan dan keadilan sosial,” ujar analis sosial dari LIPI, Denny Wahyudi.
Fenomena bendera One Piece yang berkibar menjelang HUT RI bukanlah ancaman terhadap kedaulatan negara. Sebaliknya, ini adalah kesempatan emas bagi negara untuk lebih dekat dengan masyarakat dan membuka ruang dialog yang sehat. Kebebasan berekspresi harus dihormati, selama tidak melanggar konstitusi dan nilai-nilai dasar Pancasila. Pemerintah, aparat, dan masyarakat perlu saling memahami, agar simbol bukan jadi pemicu perpecahan, tetapi jembatan komunikasi.
Baca juga: Sebabkan Lahan Gambut Terbakar Selama 1 Jam, Pria di Inhu Ditangkap