PHK Massal Tokopedia TikTok - Shopee Terulang, Lebih Besar dari 2024?
PHK Massal Tokopedia TikTok – Shopee Terulang, Lebih Besar dari 2024?
Industri e-commerce kembali diguncang oleh kabar kurang sedap. Tiga raksasa digital—Tokopedia, TikTok, dan Shopee—dilaporkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ratusan hingga ribuan karyawannya.
Yang mengejutkan, skala PHK kali ini disebut-sebut lebih besar dibandingkan gelombang serupa yang terjadi pada tahun 2024.
Fenomena ini pun menimbulkan berbagai spekulasi, mulai dari restrukturisasi bisnis, efisiensi operasional, hingga tekanan ekonomi makro yang masih belum pulih sepenuhnya pasca pandemi dan ketidakpastian global.
Sumber internal dari perusahaan-perusahaan tersebut menyebutkan bahwa langkah PHK dilakukan sebagai bagian dari strategi efisiensi.
Meski bisnis e-commerce terus tumbuh, tekanan pada margin keuntungan dan tingginya biaya operasional mendorong perusahaan untuk memangkas jumlah tenaga kerja.
Di sisi lain, strategi bisnis juga terus berubah. TikTok, misalnya, disebut tengah merestrukturisasi unit e-commerce-nya di Asia Tenggara setelah merger dengan Tokopedia.
Shopee pun dilaporkan tengah fokus mengefisiensikan operasional di sejumlah negara yang dianggap kurang menguntungkan.
Setelah resmi bergabung pada akhir 2023, Tokopedia dan TikTok Shop berusaha menyatukan operasional mereka. Namun proses integrasi ini tidak semudah yang dibayangkan.
Banyak posisi kerja yang tumpang tindih, terutama di level manajerial dan operasional.
Akibatnya, ratusan karyawan yang posisinya dianggap tidak lagi relevan terpaksa dirumahkan. Merger ini bertujuan memperkuat posisi keduanya di pasar Indonesia, namun dampaknya terhadap sumber daya manusia cukup signifikan.
Shopee Indonesia, anak usaha dari Sea Group, juga tidak luput dari gelombang PHK. Meski sempat mencatat pertumbuhan transaksi di tahun 2024, Shopee kini menghadapi tantangan dari sisi profitabilitas.
Manajemen perusahaan menilai perlu ada langkah efisiensi untuk menjaga keberlanjutan bisnis.
PHK ini utamanya terjadi di divisi layanan pelanggan, pemasaran digital, dan logistik. Sebagian posisi juga dialihkan ke sistem otomatisasi dan teknologi AI untuk menekan biaya jangka panjang.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah karyawan yang terdampak pada 2025 ini disebut lebih besar. Pada 2024, Shopee mem-PHK sekitar 600 karyawan, sementara Tokopedia sekitar 300.
Di tahun ini, total gabungan dari ketiga perusahaan bisa menembus angka 2.000 orang di seluruh Asia Tenggara.
Skala PHK yang lebih besar menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi industri e-commerce belum sepenuhnya usai.
Persaingan ketat, tekanan dari investor, dan ketidakpastian ekonomi global menjadi faktor yang memperburuk situasi.
Gelombang PHK ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja digital dan masyarakat luas. Banyak yang mempertanyakan nasib
para karyawan yang telah mengabdi selama bertahun-tahun namun akhirnya harus dilepas dalam waktu singkat.
Di media sosial, sejumlah eks-karyawan menyuarakan kekecewaan mereka, meskipun sebagian juga menyampaikan apresiasi atas pesangon dan proses komunikasi yang dijalankan oleh perusahaan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah memantau situasi ini. Mereka meminta perusahaan untuk menjalankan
PHK sesuai aturan dan memastikan hak-hak karyawan terpenuhi, termasuk pesangon dan jaminan sosial.
Serikat pekerja di sektor digital juga mendesak agar pemerintah lebih aktif mengawasi praktik PHK massal dan mendorong program
pelatihan ulang (reskilling) bagi karyawan yang terdampak agar bisa kembali masuk ke dunia kerja.
Fenomena PHK ini bisa jadi sinyal bahwa industri e-commerce tengah memasuki fase konsolidasi. Setelah periode ekspansi agresif dalam satu dekade terakhir
kini perusahaan mulai fokus pada efisiensi, keberlanjutan, dan profitabilitas.
Investor pun kini lebih berhati-hati dan menuntut perusahaan teknologi untuk menunjukkan kinerja yang sehat secara keuangan.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya jor-joran dalam perekrutan, kini harus melakukan penyesuaian besar-besaran.
Meski gelombang PHK menjadi kenyataan pahit, banyak pihak percaya bahwa krisis ini bisa menjadi pemicu munculnya inovasi baru. Banyak eks-karyawan kini memilih
untuk membangun usaha rintisan (startup) atau menjadi freelancer di sektor digital lain yang masih berkembang.
Fleksibilitas kerja, keterampilan teknologi, dan pengalaman di perusahaan besar menjadi modal penting bagi mereka untuk bangkit dan beradaptasi di tengah perubahan zaman.
Baca juga:Tumpukan Utang Buat Sritex dalam Tekanan Berat
Terungkap Pria di Cisauk Janjikan Uang Ajak Teman Bunuh Eks Pacar Kasus yang menghebohkan warga…
Mengaku Wanita Sister Hong' Tipu Ribuan Pria Tanpa Disadari Kasus penipuan identitas kembali mengejutkan publik.…
Pace Rendah Bikin Minder, Joki Strava Jadi Jalan Pintas untuk Eksis di Media Sosial Di…
Israel dan Suriah Capai Kesepakatan Gencatan Senjata, AS Peran Sebagai Perantara Setelah bertahun-tahun ketegangan dan…
Kalteng Bakal Ternakkan 1Juta Ekor Sapi, Ditarget untuk Swasembada Daging dan Susu Nasional Provinsi Kalimantan…
Lamine Yamal Sejak Kecil Impikan Nomor 10 Barcelona Lamine Yamal, bintang muda Barcelona yang kini…
This website uses cookies.