
Anggota DPR Bukan Status Sosial, Penanganan Kasus Argo Harus Berpihak pada Keadilan!
Anggota DPR Bukan Status Sosial, Penanganan Kasus Argo Harus Berpihak pada Keadilan!
Kasus dugaan pelanggaran hukum yang menyeret nama salah satu anggota DPR, Argo
kembali menegaskan pentingnya prinsip keadilan dalam sistem hukum Indonesia. Masyarakat luas menyoroti
penanganan kasus ini, mempertanyakan apakah hukum benar-benar berlaku sama bagi semua, atau justru tunduk pada status sosial
dan jabatan seseorang. Dalam konteks demokrasi dan supremasi hukum, jabatan sebagai anggota DPR
seharusnya tidak menjadi tameng perlindungan, melainkan justru menjadi contoh integritas hukum yang tinggi.
Kasus Argo dan Sorotan Publik terhadap Privilege Kekuasaan
Nama Argo, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mencuat dalam pusaran kontroversi hukum setelah
dilaporkan terlibat dalam kasus dugaan pelanggaran yang merugikan masyarakat. Kasus ini mendapat sorotan
luas karena dianggap menunjukkan gejala impunitas atau kebal hukum yang kerap terjadi pada elit politik.
Bukan kali pertama publik dikecewakan oleh penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Banyak kalangan menilai, posisi Argo sebagai anggota DPR seakan menjadi penghalang bagi upaya penegakan hukum yang objektif. Bahkan muncul anggapan bahwa penyelidikan terhadapnya berjalan lambat dan kurang transparan, sehingga menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi hukum.
Jabatan Publik Seharusnya Menjadi Beban Tanggung Jawab, Bukan Perlindungan
Sebagai wakil rakyat, anggota DPR seharusnya menjadi figur yang menjaga etika publik dan menjadi contoh dalam menjunjung tinggi hukum.
Jabatan sebagai legislator bukanlah status sosial istimewa yang memberi kekebalan hukum.
Justru sebaliknya, publik berharap anggota dewan menunjukkan tanggung jawab moral dan hukum lebih besar daripada warga biasa.
Dalam banyak negara demokrasi yang sehat, pejabat publik yang terjerat kasus justru secara sukarela mengundurkan diri dari jabatannya demi menjaga kehormatan institusi dan memberikan ruang bagi proses hukum yang objektif.
Namun di Indonesia, hal ini masih jarang terjadi. Sebagian besar pejabat justru berlindung di balik kekuasaan dan imunitas yang diberikan oleh undang-undang.
Imunitas DPR: Pelindung Demokrasi atau Tirai Keadilan?
Undang-undang memang memberikan hak imunitas kepada anggota DPR, terutama dalam hal pernyataan dan tindakan saat menjalankan tugas.
Namun, hak ini tidak berlaku untuk tindak pidana umum. Banyak pihak mengingatkan bahwa imunitas bukanlah kekebalan mutlak, apalagi jika yang bersangkutan diduga melakukan pelanggaran hukum di luar tugas kenegaraan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan dituntut untuk bersikap netral dan tegas
serta tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau status jabatan. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sistem
hukum akan semakin tergerus dan demokrasi akan mengalami kemunduran serius.
Reaksi Masyarakat Sipil dan Desakan Transparansi
Organisasi masyarakat sipil, LSM anti-korupsi, hingga tokoh akademisi menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap potensi diskriminasi hukum dalam kasus Argo.
Mereka meminta agar proses hukum dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan tidak pandang bulu. Jika Argo memang terbukti bersalah, maka ia harus menerima hukuman yang setimpal.
Media sosial pun menjadi ruang ekspresi publik, di mana tagar-tagar seperti #DPRBukanTameng dan #KeadilanUntukRakyat ramai diperbincangkan.
Fenomena ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keadilan hukum yang setara, serta ketidaksabaran mereka atas sistem yang kerap mengistimewakan elite.
Keadilan Bukan Milik Segelintir, Tapi Hak Semua
Prinsip dasar hukum adalah equality before the law — semua orang sama di hadapan hukum.
Tidak ada satu pun jabatan, status, atau kekuasaan yang boleh menghalangi proses hukum berjalan.
Ketika keadilan hanya berlaku bagi yang lemah, dan tidak menyentuh yang kuat, maka sesungguhnya hukum telah kehilangan makna sejatinya.
Penanganan kasus Argo menjadi ujian nyata bagi integritas hukum dan lembaga penegak hukum Indonesia.
Jika kasus ini diselesaikan tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka dampaknya bukan hanya pada citra DPR, tapi juga pada kepercayaan rakyat terhadap negara.
Harapan Publik terhadap Reformasi Politik dan Hukum
Masyarakat kini berharap agar reformasi hukum tidak hanya menjadi jargon politik, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata.
Salah satunya adalah melalui evaluasi terhadap mekanisme imunitas anggota DPR agar tidak disalahgunakan.
.Selain itu, perlu ada pembaruan regulasi yang memastikan bahwa pejabat publik dapat diperiksa tanpa hambatan birokratis.
Tak kalah penting, partai politik yang menaungi anggota dewan yang bermasalah juga dituntut untuk bersikap tegas.
Dengan memberikan sanksi internal atau bahkan mencabut dukungan politik, partai bisa menunjukkan komitmennya terhadap etika dan keadilan.
Baca juga: Menbud Fadli Zon Tegaskan yang Ditulis Ulang Bukan Sejarah Resmi
Penutup: Saatnya Tegakkan Keadilan Tanpa Pandang Bulu
Kasus Argo membuka mata banyak pihak bahwa reformasi hukum belum selesai. Masih banyak pekerjaan rumah
dalam mewujudkan sistem keadilan yang benar-benar adil dan tidak diskriminatif. Momen ini harus dimanfaatkan untuk mendorong perubahan nyata.
Anggota DPR bukan simbol status sosial, melainkan amanah rakyat yang harus dijaga dengan tanggung jawab.
Dan keadilan, harus ditegakkan tanpa terkecuali—karena hanya dengan itulah kepercayaan publik bisa kembali tumbuh.