April 27, 2025
Home » Blog » Soal Usulan Copot Gibran, Pengamat: Tidak Ada Urgensinya
d969cdbb-b6ae-4b0a-b8a4-43e1645adec7

Soal Usulan Copot Gibran, Pengamat: Tidak Ada Urgensinya

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul berbagai usulan dari sejumlah pihak yang menginginkan agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatannya sebagai Wali Kota Solo.

Namun, sejumlah pengamat politik menilai bahwa usulan tersebut tidak memiliki urgensi yang kuat dan lebih didasari oleh motif politis dibandingkan dengan pertimbangan objektif mengenai kinerja maupun pelanggaran hukum.

Soal Usulan Copot Gibran, Pengamat: Tidak Ada Urgensinya
Soal Usulan Copot Gibran, Pengamat: Tidak Ada Urgensinya

Soal Usulan Copot Gibran, Pengamat: Tidak Ada Urgensinya

Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Popularitas Gibran meningkat pesat, terutama setelah dirinya maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto. Meningkatnya peran Gibran di panggung politik nasional juga mengundang berbagai reaksi, termasuk kritik dan tuntutan pencopotan dari sejumlah elemen masyarakat.

Alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang mengusulkan pencopotan antara lain adalah dugaan pelanggaran etika jabatan, serta tuduhan bahwa Gibran tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai wali kota karena lebih sibuk dengan kampanye nasional. Namun, hingga saat ini, belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Gibran melanggar aturan hukum atau etika pemerintahan secara nyata.

Analisis Pengamat Politik

Sejumlah pengamat politik menilai bahwa wacana pencopotan Gibran lebih bernuansa politis daripada didasari kebutuhan administratif atau hukum.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, tuntutan untuk mencopot Gibran tidak berlandaskan pada pelanggaran berat yang dapat dijadikan dasar hukum.

Ia menilai bahwa kinerja Gibran sebagai Wali Kota Solo secara umum masih berjalan sesuai ketentuan.

“Kalau mau mencopot kepala daerah, harus ada dasar hukum yang kuat, seperti pelanggaran berat, korupsi, atau ketidakmampuan menjalankan tugas.

Dalam kasus Gibran, belum ada bukti seperti itu. Jadi, tidak ada urgensi untuk mencopot dia,” ujar Ujang.

Senada dengan itu, pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan bahwa pencopotan kepala daerah tidak bisa didasarkan pada ketidaksukaan politik semata. Menurutnya, dalam sistem demokrasi, kepala daerah harus dinilai berdasarkan kinerja dan integritas, bukan karena faktor afiliasi politik atau popularitas nasional.

Mekanisme Pencopotan Kepala Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran berat, terlibat kasus pidana, atau dinyatakan tidak mampu menjalankan tugas oleh lembaga berwenang. Pemberhentian juga harus melalui mekanisme resmi, termasuk persetujuan dari DPRD dan rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Dalam konteks ini, pencopotan Gibran harus memenuhi persyaratan administratif dan substantif yang ketat. Tidak cukup hanya berdasarkan opini publik atau tekanan politik. Tanpa adanya keputusan hukum tetap atau rekomendasi lembaga berwenang, pencopotan tidak bisa dilakukan secara sepihak.

Faktor Politik di Balik Wacana

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menilai bahwa wacana pencopotan Gibran tidak lepas dari dinamika politik nasional, terutama setelah kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam pemilu. Menurutnya, ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa khawatir terhadap pengaruh politik keluarga Presiden Joko Widodo, sehingga berupaya melemahkan legitimasi Gibran melalui berbagai cara.

“Ini bagian dari political bargaining. Ketika seseorang sudah menjadi aktor penting di tingkat nasional, maka akan banyak serangan politik yang diarahkan, termasuk upaya mendeligitimasi dengan wacana pencopotan,” kata Hamdi.

Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan instrumen politik untuk menyerang lawan tanpa dasar hukum yang jelas justru akan merusak tatanan demokrasi dan menciptakan preseden buruk dalam sistem pemerintahan daerah.

Baca juga:Jaksa Segera Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi Proyek Pusat Data Nasional

Kinerja Gibran di Solo

Selama masa kepemimpinannya di Solo, Gibran tercatat meluncurkan berbagai program pembangunan dan sosial yang cukup mendapat apresiasi. Program-program seperti revitalisasi pasar tradisional, pengembangan UMKM, serta penguatan infrastruktur kota menjadi beberapa capaian utama yang dipuji sejumlah kalangan.

Meskipun tidak lepas dari kritik, secara umum kinerja Gibran dianggap stabil dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan administratif. Hal ini menjadi dasar bagi banyak pengamat untuk mempertanyakan motif di balik wacana pencopotan.

Bahkan, dalam survei kepuasan publik di Kota Solo yang dilakukan oleh lembaga survei lokal, tingkat kepuasan warga terhadap kinerja Gibran mencapai lebih dari 70 persen, angka yang tergolong tinggi untuk seorang kepala daerah.

Reaksi Masyarakat

Reaksi masyarakat terhadap wacana pencopotan Gibran pun beragam. Sebagian masyarakat Solo menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan tersebut.

Mereka menilai bahwa selama ini Gibran cukup aktif turun langsung ke lapangan dan responsif terhadap berbagai persoalan warga.

“Saya tidak melihat alasan kenapa harus dicopot. Pak Gibran malah sering turun ke pasar, bertemu warga, dan memperbaiki fasilitas umum,” ujar Sumarno, seorang pedagang pasar di Solo.

Sementara itu, kelompok masyarakat yang mendukung pencopotan umumnya berasal dari kalangan yang berbeda pandangan politik, yang

menganggap Gibran terlalu terlibat dalam politik nasional dibandingkan mengurus pemerintahan daerah.

Kesimpulan: Tidak Ada Urgensi

Berdasarkan analisis hukum, politik, dan administratif, dapat disimpulkan bahwa usulan pencopotan Gibran Rakabuming Raka

dari jabatannya sebagai Wali Kota Solo saat ini tidak memiliki urgensi yang memadai. Tanpa adanya pelanggaran berat atau bukti hukum

yang kuat, pencopotan tidak hanya tidak relevan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Penggunaan isu ini sebagai alat politik justru menunjukkan rendahnya etika politik sebagian pihak, yang lebih mementingkan kepentingan

jangka pendek dibandingkan stabilitas pemerintahan daerah. Untuk itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga objektivitas dalam

menilai kinerja pejabat publik, serta menghormati mekanisme hukum yang telah ditetapkan.

Ke depan, publik diharapkan tetap kritis namun rasional dalam menyikapi setiap wacana politik, agar demokrasi di Indonesia dapat terus tumbuh secara sehat dan berkeadaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Anda bukan Robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.